”Itu burung apa, Mak?” tanya Mimin pada Kedasih, emaknya, ketika sore memerah jingga.
Kedasih pun bercerita tentang burung-burung yang sering nangkring di pohon tak jauh dari rumah Tuannya. Itulah hiburan yang bisa menambal sedih anaknya karena saban hari harus dikurung dalam kamar emaknya.
Kamar yang berukuran 3 X 4 itu, bekas gudang Tuannya. Gudang butut itu, hanya terdiri dari satu dipan dan almari yang sudah pecah kacanya. Sebuah televisi yang separuh gambarnya hilang, tanpa remote. Di satu sisi tembok kamar ada jendela menghadap ke jalan, sehingga Mimin bisa melihat pokok pohon trembesi yang tumbuh berjajar-jajar sepanjang jalan depan rumah Tuannya.
Lewat jendela itulah, Mimin melihat, betapa di luar sana, anak-anak sebayanya asyik bermain. Sementara ia harus bekerja membanting tulang, bersama emaknya. Ia hanya bisa melihat dari balik jendela dengan tatapan mata berbinar.
Terkadang ia memberanikan diri memainkan mainan milik anak Tuannya. Tetapi, jika ketahuan emaknya, ia pasti dimarahi. Karena, bila ketahuan menyentuh mainan, tak ayal lagi, Mimin akan mendapat damprat Tuannya.
Kedasih sering menjauhkan mainan milik anak Tuannya dari jangkauan Mimin. Kedasih memilih menghibur anaknya dengan dongeng. Kedasih sering bercerita tentang burung. Burung yang hidup bebas di alam raya.
”O, itu burung blekok atau bangau. Burung itu memberitahukan musim akan berganti, nak,” kata Kedasih, suatu sore.
Mimin memandang barisan burung bangau yang terbang menjauh menuju cakrawala jingga. Sebentar kemudian, ia mendengar cerita emaknya tentang burung bangau yang mengabarkan pada katak dan ikan-ikan akan hadirnya kemarau panjang.
”Tetapi itu hanya akal bulus burung bangau yang ingin memakan ikan,” kata Kedasih sambil menyelesaikan setrikaan.
”Tega sekali ya, Mak, burung itu menipu ikan?” kata Mimin sambil menyemprotkan pewangi.
”Ini hanya dongeng. Tutuplah jendela itu. Angin sore tak baik. Sebelum malam, burung-burung itu sudah menemukan sarangnya. Jangan kau risaukan.”
”Ketika malam apa burung-burung pada tidur, Mak?” tanya Mimin.
”Ada yang tidak tidur. Namanya burung hantu,” jawab Kedasih. Tiba-tiba Mimin menghambur, memeluk emaknya. ”Sebaiknya kamu segera tidur. Besuk sebelum subuh harus segera bangun. Cucian yang belum kering harus segera dijemur…,” kata Kedasih, yang kemudian segera turun tangga karena terdengar suara Tuannya memanggil untuk yang kesekian ribu kali.
Dari atas terdengar suara Tuan mendamprat emaknya begitu kasar. Sesekali juga terdengar suara tendangan dan pukulan. Suara Tuannya semakin keras memaki-maki. Begitulah yang dilakukan Tuan kalau Nyonya sedang tidak ada di rumah.
Mata Mimin nanar menatap jendela yang kordennya mbulak karena tak pernah diganti. Dari celah-celah jendela itu, ia membayangkan burung hantu sedang nangkring di pokok pohon trembesi dekat rumah Tuannya. Matanya tajam mengawasi.
Mimin memeramkan mata. Ia mendengar tangga loteng berderit. Emaknya berjalan tertatih sembari memegangi perutnya. Diterangi lampu 10 watt, Mimin melihat wajah emaknya lecek.
”Aku takut sama burung hantu, Mak?” seru Mimin.
”Sudahlah, tidur saja,” kata Kedasih lirih.
”Emak dipukul lagi?”
Kedasih tidak menjawab. Ia membaringkan tubuhnya yang terasa seperti kayu. Meski begitu, Kedasih bercerita tentang burung hantu dan belalang yang sombong dan tamak.
Kata Kedasih, belalang suka sekali mengganggu tidur siang burung hantu. Ia sering menyanyi dekat burung hantu. Suaranya berisik. Pada suatu hari belalang diiming-iming anggur. Kata burung hantu, anggur itu didapat dari dewa Apollo. Anggur itu yang membuat suara dewa Apollo begitu merdu. Belalang pun percaya. Ia meminta buah anggur yang dimiliki burung hantu agar suaranya semerdu dewa Apollo.
”Saat belalang mendekat ke burung hantu, haaapp! Nyaem… nyaeeemm,” cerita Kedasih, menirukan burung hantu menerkam belalang.
”Jadi belalang itu dimakan burung hantu karena kesombongannya, Mak,” tanya Mimin di akhir cerita.
”Begitulah, kesombongan dan ketamakan, membuat akal dan hati nurani seseorang menjadi tumpul,” kata Kedasih.
”Seperti Tuan dan Nyonya?” tanya Mimin.
Kedasih tak menjawab. Dipeluknya anak satu-satunya itu. Tubuhnya terasa keras sekali. Mimin mendekapkan tangannya pada tubuh emaknya, erat sekali. Baru kali ini ia merasakan bau tubuh emaknya terasa wangi. Entah itu bau dari mana. Tapi ia selalu membau tubuh yang aneh, setiap kali Nyonya tidak ada di rumah. Mimin tak berani bertanya. Matanya masih membayang wajah burung hantu yang memakan belalang yang sombong dan tamak. Sementara Kedasih membayangkan pergulatannya dengan buaya yang hendak memakan, anaknya.
Sejak tiga hari ini, Mimin ketakutan hebat karena mendengar suara burung yang seperti memecah malam. Suara burung itu, seperti suara yang merintih-rintih kesakitan. Suara itu terdengar beberapa kali, membuat Mimin tak bisa tidur.
Emaknya sempat melongok keluar. Mata Kedasih memicing-micing meneliti setiap ranting. Di luar hanya ada bulan separuh. Siluet ranting-ranting trembesi diam. Tak ada angin. Jalanan sepi. Suara burung, tak terdengar.
Suara tarqim lamat-lamat terdengar, mata Mimin masih mengerjap-ngerjap. Emaknya juga tak berani tidur karena sebentar lagi ia harus jadi robot.
Pagi benar, Mimin sudah harus menjemur pakaian di atap loteng. Sementara emaknya menyiapkan sarapan pagi. Dan sebelum jam 6.30 harus sudah memandikan anak Tuannya, sampai mengenakan baju seragam sekolah. Semua harus selesai jam 6.45, termasuk sudah menyuapi makan dan memberinya minum susu. Dan pada jam 6.45, sudah harus segera berada di depan pagar rumah menunggu jemputan datang. Usai itu, barulah membersihkan seluruh barang kotor di meja makan, karena pas jam 7.00 Tuan dan Nyonya akan duduk di kursi menunggu sarapan pagi, roti bakar yang dilapisi sedikit selai dan minum teh hangat sedikit gula.
Setelah Tuan dan Nyonya pergi, Kedasih mulai membersihkan rumah. Mulai dari taman depan, sampai kamar mandi. Semua harus selesai sebelum anak Tuannya pulang sekolah. Sampai sore, ia harus ngemong anak Tuannya sampai tertidur. Sementara Mimin, menyetrika baju-baju Tuannya. Semua harus beres, sebelum Tuan dan Nyonyanya datang. Entah jam berapa datangnya.
”Mak, lihat di pohon ada burung?” kata Mimin sembari menunjuk ke pohon trembesi.
Kedasih, clilang-cliling mengamati pohon trembesi, ”Mana, enggak ada burung,” kata Kedasih.
”Itu, warna coklat, di ranting sebelah sana. Dengar kicauannya,” teriak Mimin.
Kedasih berusaha memasang telinganya. Tak ada suara yang terdengar. Tetapi anak satu-satunya ini, merasa mendengar suara kicau burung yang ia lihat di pohon trembesi. Suara itu persis suara burung yang didengarnya tiga malam sebelumnya.
Hiii-tii-ti-ti, tir-ri-ri-ri-ri, hiii- tii-ti-ti, tir-ri-ri-ri-ri. Tiba-tiba suara kicau burung terdengar jelas. Kedasih, bersejingkat mendengar suara kicau burung itu. Ia segera menghampiri anaknya yang berdiri di ambang jendela. Kedasih menajamkan pandangannya pada pohon trembesi. Hatinya merasa bergetar mendengar suara burung yang terasa merintih-rintih itu.
Kedasih segera membimbing anaknya dari ambang jendela. Sementara kicau burung itu terdengar lagi. Terasa sekali sampai ulu hati. Bulu kuduk Kedasih terasa mengkirik. Ia bergegas menutup jendela. Saat itu ia mendengar suara teriakan Tuannya. Kedasih segera bergerak cepat. Tetapi, perutnya masih terasa sakit untuk bergerak lebih lincah. Kedasih berjalan terseok menuruni tangga.
Seperti dugaan Mimin, tak seberapa lama terdengar suara berdebam. Seperti suara benda tumpul yang ditumbukan ke tubuh. Tetapi Mimin tak berani mengintip. Ia tak kuasa mendengar suara emaknya yang merintih. Bahkan kini seperti ada suara lain. Suara emaknya yang melengking, tetapi tertahan.
Kedasih kembali dengan wajah lecek. Matanya nyalang. Keringatnya mengalir pada wajahnya yang memerah.
”Dipukul lagi, Mak?”
Kedasih menggeletakkan tubuhnya yang ngilu. Dadanya masih berdegup kencang. Mimin, melihat tangan emaknya ada bercak merah. Saat itu tiba-tiba telinganya menangkap kicau burung. Suaranya begitu merintih-rintih, seperti suara emaknya yang menahan kesakitan.
”Itu burung apa, Mak?” tanya Mimin sambil melongok keluar lewat kaca jendela.
”Emm… burung kedasih,” jawab Kedasih sembari mlungker menahan sakit di ulu hati dan selangkangannya.
”Kok, seperti nama, Emak,” kata Mimin sembari tersenyum.
Di luar sana burung kedasih berkicau berkali-kali. Hiii-tii-ti- ti, tir-ri-ri-ri-ri, hiii-tii-ti-ti, tir- ri-ri-ri-ri. Suara burung itu seperti berkecamuk dalam hati Kedasih hingga larut malam. Kedasih memandang anaknya yang tak berdosa itu dengan penuh kasih sayang.
Di matanya terbayang, bagaimana ia menyelamatkan anaknya itu dari laki-laki pemabuk yang telah membuatnya terpuruk. Laki-laki yang pernah memaksanya mencintai. Laki-laki yang memaksa membuahi spermanya. Dan kemudian laki-laki itu pergi, karena orangtuanya tak merestui. Kedasih pun juga memilih minggat untuk menyelamatkan anaknya. Dan membuang sial bagi keluarganya.
Tetapi apa daya, lepas dari buaya darat, terperangkap di kandang macan. Di kandang macan ini ia menjadi santapan Tuannya, bila Nyonya pergi, hampir saban malam.
”Macan itu sudah aku habisi. Demi anakku…” batin Kedasih. Dadanya berdegup kencang.
Tiba-tiba Mimin menggeliat dan bangkit dari tidurnya. ”Kok, burung itu tidak berhenti berkicau, Mak?”
Kedasih berusaha bangkit, sembari memberi isyarat tangan ke mulut. Tetapi Kedasih tak jadi bangkit. Ulu hatinya terasa kecepit.
”Kata orang, itu pertanda ada malaikat lewat,” kata Kedasih lirih.
”Oh, berarti dia burung yang baik, seperti Mak.”
”Dia malaikat pencabut nyawa…,” kata Kedasih, lirih sekali.
Mimin beringsut dan segera menghambur memeluk emaknya. Ia merasakan dengus napas emaknya begitu kencang. Detak nadinya terasa cepat. Tapi sebentar kemudian terasa melambat. Berhenti!
”Seharusnya malaikat itu tahu doa kita, Mak, agar kita bisa pergi dari rumah ini,” ucap Mimin.
Tak ada jawaban. Mimin, mengeratkan dekapan ke tubuh emaknya yang membatu. Bau tubuh emaknya terasa anyir. Tetapi Mimin tak peduli.
Di luar sana, kicau burung kedasih tak terdengar. Tiba-tiba malam robek oleh jeritan Nyonya. Mimin membenamkan wajah pada tubuh emaknya yang diam dan beku. Di bawah sana, Nyonya memeluk suaminya yang bersimbah darah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar